Minggu, 30 Agustus 2015

TAQIYYAH




Tanya  :  Assalamu’alaikum wr.wb

Pak Ustadz, sebenarnya apa makna taqiyyah itu? Dan apa hubungannya dengan taqiyahnya orang-orang Syi’i? Ammar Depok.

Jawab  : Wa’alaikumussalam wr.wb. Taqiyyah menurut etimologi bahasa Arab mempunyai arti menyembunyikan atau menjaga. (Lisanul Arab 15/401 dan Al Qamus Al Muhith hal. 1731). Sedangkan secara syar’i, taqiyyah mempunyai arti menyembunyikan keyakinan atau keimanan karena dorongan keterpaksaan karena untuk menyelamatkan dan menjaga jiwa, kehormatan maupun hartanya ditengah-tengah kejahatan yang dilakukan oleh luar Islam (baca : kafir). Taqiyyah ditempuh karena dia benar-benar dalam keadaan dipaksa untuk mengucapkan atau mengerjakan kekufuran. (An Nahl: 106)

Sedangkan dalam pandangan Syi’ah seperti dalam kitab mereka Al Kasyful 1/202 karya Yusuf Al Bahrani mengatakan: “ Yang dimaksud dengan taqiyyah adalah menampakkan kesamaan dengan keyakinan agama orang-orang yang menyelisihi mereka karena adanya rasa takut.”  Artinya dalam Syi’ah taqiyyah dijadikan alat untuk mengelabui golongan yang berbeda faham atau-pun keyakinan dan tidak membedakan apakah taqiyyah mereka amalkan dihadapan kaum muslimin atau orang-orang kafir. 

Taqiyyah dalam Syi’ah merupakan ajaran yang mempunyai kedudukan dan keutamaan sangat Istimewa. Dalam Buletin Islam Al Ilmu Edisi 39/III/II/1425 (Syi’ah dan Taqiyyah) dipaparkan, bahwa taqiyyah dalam Syi’ah :
 1. Taqiyyah adalah pokok agama mereka.
Al Kulaini di dalam Al Kafi 2/174 menukilkan –dengan dusta- ucapan Abu Ja’far: “Taqiyyah merupakan agamaku dan agama para pendahuluku. Tidak ada keimanan bagi seseorang yang tidak bertaqiyyah”. Dalam riwayat lain -dengan dusta- dari Abu Abdillah: “Tidak ada agama bagi seorang yang tidak bertaqiyyah”.
2. Taqiyyah adalah kemuliaan agama seseorang.
Al Kulaini di dalam Al Kafi 2/176 meriwayatkan –dengan dusta- ucapan Abu Abdillah kepada Sulaiman bin Khalid: “Wahai Sulaiman, sesungguhnya engkau diatas agama yang apabila seseorang menyembunyikannya (bertaqiyyah), maka Allah akan muliakan dia. Barangsiapa menampakkannya maka Allah akan hinakan dia”.
3. Taqiyyah merupakan sebuah ibadah yang paling dicintai Allah
Abu Abdillah mengatakan di dalam Al Kafi 2/219 karya Al Kulaini –dengan dusta- : “Tidaklah Allah diibadahi dengan suatu amalan yang lebih Dia cintai daripada Al Khab’u. Aku (periwayat) bertanya: “Apa itu Al Khab’u ? Beliau menjawab: “Taqiyyah”.

4. Taqiyyah merupakan seutama-utama amalan hamba.
Di dalam Tafsirul Askari hal. 163 dinukilkan -dengan dusta- bahwa Ali bin Abi Thalib pernah berkata: “Taqiyyah merupakan salah satu amalan mukmin yang paling utama. Dia menjaga diri dan saudaranya dengan taqiyyah dari orang-orang jahat. Allohu A’lam



Taqiyyah: Strategi Syi'ah di Tengah Mayoritas Sunni
Oleh: Ustadz Bakir
Diakui atau tidak. Syi’ah merupakan aliran yang lahir akibat pergolakan politik dan kepentingan-kepetingan ideologi. Keberadaannya selalu menjadi saingan ketat dengan kelompok sunni. Dontrin-doktrin, pemahaman fiqh dan lainnya selalu tidak sejalan dengan paham sunni. Salah satu dotrin Syi’ah yang tidak ditemukan dalam doktrin Sunni adalah ‘Taqiyah’.
Mayoritas Muslim indonesia adalah penganut Sunni yang dikenal dengan sebutan ahl al-sunnah wa al-jama’ah yang juga merupakan mayoritas penduduk muslim di dunia, tetapi terdapat juga penganut Syi’ah yang hidup di tengah kaum mayoritas tersebut.
Kemudian kami kerucutkan maksud Syi’ah dalam tulisan ini kepada syi’ah itsna ‘asyariyah (kadang-kadang di sebut syi’ah imamiyah), yakni aliran |Islam yang meyakini dua belas imam sepeninggal Rasulullah dan mempraktikkan fiqh Ja’fari dalam kehidupan sehari-hari. Syi’ah adalah aliran Islam (tepatnya sempalan Islam) minoritas yang dalam berbagai aspek berbeda dan bertentangan dengan Islam sunni.
Eksistensi kelompok Islam Syi’ah di Indonesia, seperti halnya di daerah lain di luar iran, masih belum banyak diketahui oleh pemimpin muslim sendiri. Padahal beberapa penulis beranggapan bahwa syiah sudah masuk ke wilayah nusantara sejak awal kedatangan Islam dan pengaruhnya cukup kuat dalam tradisi Islam di nusantara.
Dasar Doktrinal ‘Taqiyah’
Secara umum taqiyyah adalah strategi menyembunyikan keyakinan di hadapan musuh untuk menghindari terjadinya bencana (Alatas 2002: 142). Dalam pengertian ini, meskipun konsep ini sering dianggap sebagai khas Syi’ah, praktiknya sangat umum khususnya bagi kelompok penganut agama atau aliran minoritas yang berada di bawah penguasa otoritarian yang opresif. Hanya saja mereka tidak menggunakan konsep taqiyyah. Dalam pandangan sebagian besar kaum Sunni, konsep taqiyyah memiliki makna negatif yang identik dengan kebohongan dan kemunafikan. Oleh sebab itu, Jalaluddin Rahmat mengusulkan untuk tidak menggunakan istilah taqiyah untuk menyebut praktik tersebut. Sebagai alternatifnya, ‘pendekatan yang luwes dan silaturrahmi’, misalnya, adalah istilah netral yang bisa diterima secara umum. Dengan penggunaan istilah netral tersebut, prakteik taqiyah dapat dibenarkan.
Bagi kelompok Syi’ah, taqiyah tentu saja dipahami secara positif. Jalaluddin Rahmat (1998:1viii) yang mengutip pandangan Khomeini menulis bahwa taqiyah berbeda dengan kemunafikan. Kalau kemunafikan adalah penyembunyian kekufuran dan penampakan keimanan, taqiyah adalah sebaliknya yakni penampakan kekafiran dan penyembunyian keimanan karena alasan-alasan tertentu. Mereka mengakui bahwa ajaran dan praktik taqiyah mempunyai landaan doktrinal yang kokoh dalam ajaran islam. Mereka biasanya menggunakan sejumlah dalil naqli maupun dalil aqli untuk melegitimasi praktik taqiyah dimaksud. Selain itu, taqiyah juga diyakini sudah dipraktikkan oleh sahabat Nabi Muhammad SAW, dan praktik tersebut dibenarkannya. Salah satu dalil naqli yang paling sering dipakai adalah ayat al-Qur’an (3:28) yang artinya:
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia daripertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali”
Menuru mereka, taqiyah dibenarkan tidak hanya karena alasan takut tetapi juga demi persatuan di kalangan kaum Muslimin. Berkenaan dengan tipe ini yakni taqiyah mudarat. Jalaluddin Rahmat (Rahmat 1998:1ix) mengutip fatwa khomeini:” yang dimaksud dengan taqiyah mudarat ialah taqiyah yang dilakukan untuk mempersatukan kaum muslimnin dengan menarik kecintaan para penentang dan memperoleh kasih sayang mereka; bukan karena menghawatirkan adanya ancaman seperti taqiyah khauf”. Dalam praktiknya, seseorang menyembunyikan sikap sesungguhnya, termasuk sikap negatif terhadap kelompok lain yang berbeda paham dengan menampilkan tindakan yang positif sehingga dapat mencapai ukhwah islamiyah. Singkatnya, bagi penganut Syi’ah Indonesia terdpat dua tipe taqiyah yakni taqiyah karena takut dan taqiyah untuk persaudaraan yang memiliki landasan doktrinal yang kokoh.
Strategi Taqiyah
Meskipun taqiyah tidak identik dengan rahasia, namun praktik taqiyah berkaitan erat dengan rahasia. Yang jelas, taqiyah berkenaan dengan persoalan apakah yang perlu dirahasiakan atau disembunyikan. Dalam defini taqiyah di atas, yang disembunyikan adalah keyakinan. Tetapi, keyakinan berkaitan erat dengan identitas penganutnya, lembaga-lembaga, praktik-praktik keagamaan serta atribut-atribut yang terkait. Sebagai sebuah aliran, syi’ah mencakup sistem keyakinan, figh, unsur ketaqwaan, dan prinsip-prinsip lain yang semuanya merupakan kesatuan yang tak terpisahkan. Dengan demikian, aspek-aspek yang dirahasiakan menjadi jamak. Yang menjadi persoalan adalah aspek mana yang penting untuk dirahasiakan dan bagaimana caranya. Persoalannya kemudian menjadi semakin rumit ketika dihadapkan kepada prinsip-prinsip missionaris (dakwah) sebagai karakteristik umum agama dan mazdhab yang mengharuskan penganutnya menyebarluaskan ajarannya kepada yang lain dan menarik pengikut sebanyak mungkin. 
Strategi yang paling umum dilakukan oleh penganut Syi’ah adalah pengendalian informasi atau secara lebih luas, menejemen informasi. Dalam konteks indentitas kesyi’ahan, penganut syi’ah berupaya mengontrol informasi baik yang berkenaan dengan identitas personal dan kolektif maupun yang berkaitan dengan tanda-tanda dan istilah-istilah kesyi’ahan. Pengendalian informasi itu diterapkan baik dalam suasana formal seperti pertemuan resmi, dialog, wawancara bagi kepentingan riset ataupun media maumpun dalam kehidupan kesehariaan.
Ada cara-cara tertentu yang diterapkan dalam pengendalian informasi tersebut. Yang pertama adalah memberikan jawaban atau penjelasan ambigu. Sejauh observasi yang dilakukan, jarang sekali dijumpai mereka yang mengakui bahwa dirinya adalah penganut Syi’ah. Strategi kedua adalah adaptasi, yakni melakukan penyesuaian terhadap norma dan aturan standar mayoritas. Pada umumnya, adaptasi dilakukan berkenaan dengan ibadah atau ritual-ritual keagamaan. Ini tergambar dalam sejarah dan perkembangan Syi’ah di Indonesia. Yang terakhir dari tulisan ini adalah, baik strategi pengelolaan infomrasi maupun strategi adaptasi di atas merupakan bagian dari strategi reproduksi di mana kelompok syi’ah yang mengalami stigmasisasi berupaya mempertahankan eksistensi diri, lembaga-lembaga, dan madzhabnya. Oleh karena itu, melalui tulisan singkat ini, penulis mengingatkan, kita sebagai Muslim berhaluan Sunni yang notabena ahlussunah wa al-Jamaah hendaknya berhati-hati dengan propaganda Syi’ah dengan strategi mereka. Wallahu A’lam. [PurWD/voa-islam.com]
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/liberalism/2013/11/25/27768/taqiyyah-strategi-syiah-di-tengah-mayoritas-sunni/#sthash.ylpCbPV5.dpuf


Taqiyyah dan Mut’ah, Pelaris Ajaran Syi’ah

Publikasi: Selasa, 24 Rabiul Akhir 1435 H / 25 Februari 2014 15:14
Oleh : Mush’ab
Selain menjual cinta ahlu bait, ada dua hal yang membuat Syi’ah mudah tersebar di kalangan umat Islam. Yaitu Taqiyyahdan Mut’ah. Taqiyyah adalah sebuah prinsip dusta demi meraih tujuan.  Sedangkan mut’ah adalah zina terselubung yang dihiasi dalil agar dianggap sebagai ibadah. Mut’ah adalah nikah kontrak, sesuai akad di awal dan mahar yang diberikan kepada wanita bisadi angsur.
Taqiyyah, SenjataKetikaLemah
Kebanyakan muslim tidak pernah mendengarkan bahwa Syi’ah menganggap nashibi (umat Islam Sunni) lebih layak diperangi dari pada Yahudi dan Nasrani. Mungkin, banyak orang tidak tahu bahwa dalam buku-buku Syiah dihalalkan merampas/mencuri harta nashibi.
Dari Abu Abdillah –Ja’far Ash Shadiq- mengatakan: Ambillah harta orang nashibi di mana saja kamu dapatkan, lalu bayar seperlimanya pada kami.
Riwayat ini terdapat dalam kitab Tahdzibul Ahkam jilid 4 hal 122, Al Wafi jilid6 hal43, begitu juga dinukil oleh Al-Bahrani dalam Al-Mahasin An-Nifsaniyah, Al Bahrani mengatakan riwayat ini memiliki banyak jalur.
Banyak juga orang tidak tahu bila tetangganya, guru ngajinya atau saudaranya telah memeluk Syi’ah. Ketidaktahuan itu wajar-wajar saja. Pasalnya dalam ajaran Syi’ah terdapat akidah yang disebut taqiyyah. Yaitu menyembunyikan jati diri atau keyakinan-keyakinan Syi’ah di hadapan orang lain, demi sebuah misi.
Keyakinan ini merupakan Sembilan  persepuluh dari seluruh ajaran Syi’ah. Bahkan Taqiyyah syarat menjadi mukmin di mata Syi’ah. Al-Kulaini, dalam bukunya UshululKafi (482-483) meriwayatkan bahwa Abu Abdillah –salah seorang yang diklaim imam Syi’ah- berkata, “Hai Abu Umar, Sembilan persepuluh dari agama ini adalah taqiyyah,  tidak beragama bagi orang yang tidak bertaqiyyah.”
Sehingga banyak orang tertipu dengan Syi’ah. Pasalnya, akidah-akidah busuk Syi’ah sengaja disembunyikan dari umat Islam, agar kebobrokan-kebobrokan akidah mereka tidak tampak dan tidak dijauhi oleh umat.
Abu Abdillah berkata, “Jagahlah agama kalian, tutupi dengan taqiyyah. Tidak dianggap beriman orang yang tidak bertaqiyyah.”
Ibnu Babawih –ulamaSyi’ah- berkata, “Keyakinan kami dalam Taqiyyah adalah wajib. Siapa yang meninggalkannya, maka ia seperti meninggalkan shalat.” (al-I’tiqadats, hlm. 114)
SemakinDusta, Semakin Shaleh
Bisa disimpulkan, seorang yang shaleh atau shalehah di mata orang Syi’ah adalah orang yang paling sering bertaqiyyah. Jadi, semakin banyak berdus tamak aias emakin shaleh di mata Syi’ah.
Dalama kidah Islam memang ada ajaran taqiyyah atau tauriyah. Namun tauriyah dalam akidah Islam adalah sebuah pilihan ketika kondisi terancam nyawa dan bersyarat, bukan sebuah kewajiban atau rukun iman. Tidak boleh dilakukan di sembarang waktu dan tempat.
Ibnu Mundzir, salah seorang ulama Islam berkata, “Para ulama berijma’ bahw siapa saja yang dipaksa untuk berbua kafir dengan ancama nyawa, maka ia diperbolehkan untuk memilih berbohong dengan pura-pura berbuat kafir. Orang ini tidak boleh dikafirkan.” (fathulBaari, 12/314)
Namun memilih untuk matisyahid saat demikian lebih utama. Ibnu Bathal rhm berkata, “Para ulama berijma’ bahwa siapa saja yang dipaksa antara dibunuh dengan kekafiran. Lalu ia memilih untuk dibunuh, maka itu lebih baik dan pahalanya lebih besar di sisi Allah SWT.” (FathulBaari, 12/318)
Mut’ah, Zina Terselubung
Mut’ah bisa dijadikan senjata bagi orang Syi’ah, namun juga menjadi titik lemah Syi’ah. Syi’ah menjadikan nikah sebagai alat untuk merekrut anak-anak muda dan orang-orang yang memiliki kecendrungan lebih kepada wanita.
Banyak dalil dari al-Qur’an dan Hadits yang digunakan oleh Syi’ah untuk menghalalkan mut’ah. Namun semua ayat yang dijadikan hujjah ditafsir sesuai nafsu Syi’ah. Tidak ada petunjuk dari Rasulullah Sholallahu’alaihi Wassalam dan para sahabatnya dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut sebagai kebolehan bermut’ah.
Memang Rasulullah Sholallahu’alaihi Wassalam pernah menghalalkan mut’ah sebanyak dua kali yaitu sebelum perang Khaibar dan diawa lfathu Makkah. Namun pada Fathu Makkah juga Rasulullah Sholallahu’alahi Wassalam mengharamkannya. Bahkan yang meriwayatkan pembatalan bolehnya mut’ah (naskh) adalah salah satu ahlu bait,  yaitu Ali bin Abu Thalib dalam riwayat Muslim dan Bukhari.
Dalam bukunya, tahrimul nikahil mut’ah, imam Ibnu Abi Hafidz telah membantah kehalalan mut’ah yang ‘dijual-bebas’ oleh Syi’ah.
Pelacur Yang Shalehah
Dalam ajaran Syi’ah, mut’ah tidak sekedar dianggap sebagai wisata biologis, tetapi lebih dari itu. Yaitu, dianggap sebagai syarat menjadi Syi’ah yang baik. Dalam kitab Syi’ah man la Yahdhuruhul-Faqih, (3/336) disebutkan, al-Shadiq berkata, “Mut’ah adalah agamaku, dan agama nenek moyangku. Maka,  siapa yang mengamalkannya, sungguh ia telah mengamalkan agama kami. Siapa yang mengingkarinya, maka ia telah mengingkari agama kami, dan telah memeluk selain agama kami.”
Banyak riwayat gubahan para ulama Syi’ah yang menunjukkan keutamaan nikah mut’ah. Salah satunya dalam buku tafsir minhajusshadiqin, konon Rasulullah Sholallahi’alaihi Wassalam bersabda, “Barang siapa yang melakukan mut’ah sekali, maka ia telah selamat dari murka Allah SWT. Yang melakukannya dua kali, maka ia akan dikumpulkan bersama orang-orang shaleh. Barang siapa yang melakukannya tiga kali, maka akan bersamaku di surga-surga.”
Dari berbagai riwayat yang ada dalam buku-buku induk Syi’ah dapat disimpulkan, bahwa keshalehan wanita dalam pandangan Syi’ah adalah berbanding dengan banyaknya ia melakukan mut’ah. Semakin sering ia melakukan mut’ah maka wanita tadi semakin shalehah dalam ajaran Syi’ah. Artinya, semakin sering lacur, semakin shalehah. Demikian juga laki-lakinya.
Keyakinan Syi’ah erhadap mut’ah bertentangan dengan anjuran Allah SWT untuk menjaga kemaluannya. Allah SWT berfirman,
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki [994];  maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa.” (al-Mukminun: 5-7).
Dalam ayat ini Allah  mengharamkan persetubuhan dengan wanita kecuali istri sah atau hamba sahaya. Sedangkan wanita mut’ah adalah sewaan, bukan istri yang  sah. Sebagaimana ditegaskan dalam riwayat Syi’ah sendiri bahwa wanita mut’ah-an adalah wanita sewaan,  maka boleh memut’ahi lebih dari seribu wanita, mereka tidak mendapatkan warisan, dan tidak perlu dicerai, (al-Furu’ minalKafi, 5/451).* Na’udzubillahimindzalik, *(Disalin dari kitab Syi’ah Kawan atau Lawan)*


Taqiyyah, doktrin pokok Syiah
A. Z. Muttaqin Ahad, 7 Jumadil Awwal 1435 H / 9 Maret 2014 17:17

Taqiyyah Syiah
(Arrahmah.com) – Salah satu doktrin pokok golongan Syiah adalah taqiyyah. Taqiyyah adalah menyembunyikan aqidah Syiah dari orang lain bahkan mengingkarinya bila dipandang perlu.
Para tokoh Syiah dahulu biasa merahasiakan ajaran-ajaran dan pendapat-pendapat mereka dari masyarakat umum. Mereka juga merahasiakan diri sebagai keturunan Ali dan hanya mau mengemukakan kepada teman karibnya. Mereka senantiasa menjaga diri dengan menyembunyikannya dan identitas mereka. Ada pernyataan yang sangat populer dari Ja’far Ash Shadiq:
“Taqiyyah adalah agamaku dan agama nenek moyangku, siapa saja yang berterus terang sebelum datangnya Imam Mahdi kami maka dia bukan dari golongan kami.”
Hadits-hadits milik kaum Syiah yang menjelaskan tentang taqiyyah ini sangat banyak, antara lain disebutkan oleh Majelisi sebanyak seratus sembilan riwayat, dalam bab “Bertaqiyah tetapi tetap bermasyarakat” (Biharul Anwar: 75/393-443). Syekh mereka Ibnu Baabuwaih dalam bukunya al-I’tiqadat, dia menamakan judul kitabnya “Dinul Imamiyah” (Agama Imamiyah): Taqiyah adalah wajib, yang tidak boleh ditinggalkan sampai munculnya Imam Mahdi. Barangsiapa yang meninggalkannya sebelum datangnya Imam Mahdi maka dia telah keluar dari agama Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dari agama Imamiyah, menentang Allah dan Rasulnya serta para Imam (al-I’tiqad hlm. 114-115).
Diriwayatkan bahwa khalifah al-Mansur dari Bani Abbasiyah tatkala mendengar informasi bahwa Ja’far bin Muhammad telah mengklaim jabatan khilafah dan imamah bagi dirinya, maka ia menyuruh punggawanya yang bernama Rabi’ agar datang ke Bghdad untuk menemui dan menghadirkan Ja’far kepadanya. Ketika khalifah al-Mansur melihatnya, dia berkata: “Allah akan membinasakanku kalau aku tidak membunuhmu. Apakah engkau mengingkari kekuasaanku dan engkau ingin melakukan tipudaya kepadaku?” Abu Abdillah menjawab: “Demi Allah, aku tidak berbuat seperti itu, kalau ada yang menyampaikan berita itu kepadamu, ia seorang pendusta. Sekiranya aku telah melakukannya, sesungguhnya Yusuf dahulu dianiaya orang namun ia memaafkan, dan ayub diberi cobaan namun dia bersabar, Sulaiman dikaruniai nikmat yang banyak dan ia bersyukur. Mereka semua adalah para Nabi Allah dan dari merekalah silsilahmu berasal…” dan seterusnya sampai akhir kalimat Ja’far yang mereka nukil. (Baca kalimat selengkapnya di Biharul Anwar: 47/174-175, dan al-Irsyad oleh Mufid hlm.290).
Di sini Imam Ja’far mengingkari apa yang menjadi anggapannya dihadapan al-Mansur. Dia menegaskan pengingkarannya dengan bersumpah menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Padahal tidak diragukan lagi bahwa bersumpah palsu dengan menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan dosa yang sangat besar, namunSyiah tidak menganggapnya sebagai dosa. Kisah ini tercantum dalam kitab-kitab mereka.
Pengingkaran Ja’far hanya salah satu contoh saja. Adapun segudang kebohongan Syiah sudahlah sangat jelas dibuktikan oleh pengalaman.
Karena itu Mullah Ahmad Kasravi menyatakan, “Taqiyyah dan penyimpangannya terhadap agama dan akal sudah sangat jelas, sehingga tidak membutuhkan pembahasan lagi karena hal ini merupakan bentuk kebohongan dan kemunafikan tidak perlu dijelaskan lagi kebusukannya.”
Disadur dari buku Ulama Syiah menghujat Syiah, Rabiul Tsani 1435/Februari 2014, lxxii + 218 hlm, Arrahmah Publishing. (azm/arrahmah.com)
- See more at: http://www.arrahmah.com/news/2014/03/09/taqiyyah-doktrin-pokok-syiah.html#sthash.IjKexD2T.dpuf

0 komentar:

Posting Komentar