Akhir-akhir ini ramai
dibicarakan tentang sebuah sekte yang bernama Baha’i atau Baha’iyah.
Pembicaraan mengenai sekte minoritas ini bertitik pada; negara harus
mengakui eksistensi Baha’iyah di Indonesia dan melindungi penganutnya.
Sebelum jauh melontarkan pendapat kita bagaimana sikap tepat yang harus
kita pilih dalam menilai Baha’iyah, patut kiranya kita ketahui apa itu
pemikiran Baha’iyah dan bagaimana perjalanan sejarah mereka.
Masa Kemunculan dan Perkembangan Ajaran Bahaiyah
Pendiri atau pencetus ajaran Bahaiyah adalah Husein Ali yang dikenal
dengan al-Baha’. Ia lahir di Desa Nur di Propinsi Mazandran, Iran, pada
11 November 1817.
Ayahnya bernama al-Mirzah Abbas Basrak an-Nuri merupakan seorang
pegawai di departemen keuangan di Kerajaan Iran (sebelum Republik Syiah
Iran). Sang ayah memiliki hubungan dekat dengan duta besar Iran untuk
Rusia dikarenakan saudaranya seorang juru tulis kepercayaan di kedutaan
negeri beruang merah tersebut. Adapun ibu dari Husein Ali adalah Hanim
Jani atau Khatim Jani yang merupakan istri pertama dari Abbas, ayah
Husein Ali.
Husein merupakan anak ke-3 dari 15 bersaudara. Di masa kecilnya
Husein tidak bersekolah di sekolah resmi atau madrasah keagamaan
tertentu, ia dididik ayahnya di rumah mereka. Setelah itu ia berusaha
sendiri mengkaji buku-buku untuk menambah khazanah pengetahuannya.
Husein sering membaca buku-buku Sufiyah dan Syiah, terutama buku Syiah
Ismailiyah dan filsafat Yunani klasik. Ia juga terpengaruh dengan
pemikiran Budha dan Zoroaster.
Di masa mudanya, Husein bergabung dengan aliran Babiyah. Sebuah
aliran pemikiran (sekte) yang didirikan oleh Ali Muhammad asy-Syirazi
yang mengklaim dirinya sebagai seorang nabi dan pembawa risalah. Setelah
Ali Muhammad asy-Syirazi tewas dieksekusi mati di tahun 1868, Husein
mengklaim dirinya adalah orang yang diwarisi kepemimpinan oleh pendiri
ajaran Babiyah ini. Mulailah orang-orang mengikuti Husein, lalu ia
menggelari dirinya dengan Baha-ullah (بهاء الله).
Saat dakwah Bahai-yah mulai tersebar, kekhalifahan Utsmani pun
mengambil tindakan. Akibatnya pada tahun 1868 Husein diasingkan ke Kota
Acre. Tidak disangka, malah di kota ini Husein mendapat dukungan dari
masyarakat Yahudi Acre. Orang-orang Yahudi menyambutnya dengan hangat,
membekalinya dengan harta, dan menjamin keamanannya. Sejak saat itulah
Kota Acre menjadi basis utama ajaran Baha-iyah.
Mendapat angin surga, kesesatan Husein Ali kian menjadi. Dari mengaku
sebagai pembawa risalah, ia meningkatkan maqomnya menjadi pemilik
sifat-sifat ilahi. Ia katakan bahwa dirinya adalah al-Qayyum yang
mengurusi para makhluk, ia sematkan sifat kekal untuk dirinya, ruh Allah
menyatu bersamanya, ia mengutus para nabi dan rasul, dan mewahyukan
agama-agama.
Syariat shalat yang lima, Husein kurangi hanya cukup tiga waktu saja,
masing-masing hanya tiga rakaat. Ia menghilangkan syariat shalat Jumat.
Wudhu diringkas dengan cukup membasuh muka dan kedua tangan. Haji
bukanlah menuju Mekah, tapi menuju Acre, hanya wajib bagi laki-laki, dan
tidak ada cara dan waktu tertentu, dll. Namun, seruan utama mereka
adalah menggugurkan syariat jihad. Perang sama sekali diharamkan dalam
ajaran Bahai-yah.
Di akhir hayatnya, Husein Ali menderita kegilaan, kemudian wafat pada
29 Mei 1892. Setelah itu, keimaman Baha-iyah diwariskan ke anaknya yang
bernama Abbas yang dikenal dengan Abdul Baha’,
Akidah Baha-iyah
Baha-iyah bahwasanya Allah menyatu dalam diri Baha-ullah, Husein Ali.
Karena itu, dalam ajaran ini diyakini Baha-ullah lah yang menciptakan
segala sesuatu. Dalam ajaran ini, angka 19 adalah angka suci sehingga
tidak heran mereka menjadikan bulan ada 19 bulan dan terdiri dari 19
hari. Mereka menjadikan Zoroaster, Konfusius, dan tokoh-tokoh besar
lainnya di kalangan India dan Cina sebagai nabi. Mereka mengharamkan
hijab bagi wanita dan menghalalkan mut’ah (al-Mausu’ah al-Muyassar fi
al-Adyan wa al-Madzahib wa al-Ahzab al-Muashirah, 1: 412).
Ajaran ini cukup diakui oleh orang-orang Eropa dan Amerika lantaran
eksistensi Abbas Abdul Baha’ yang senantiasa turut serta dalam berbagai
konfrensi orang-orang Eropa dan Amerika, baik konfrensi itu mengenai
komunisme atau tentang sekulerisme. Sebagai pengakuan eksistensi
Baha-iyah, di Chicago, Baha-iyah, pernah diadakan konfrensi Bahaiyah
terbesar sepanjang sejarah aliran ini.
Populasi terbesar orang-orang Baha-iyah berada di Iran, kemudian sebagian kecil berada di Irak, Suriah, Libanon, dan Palestina.
Pandangan Ulama Terhadap Baha-iyah
Pada tahun 2003, Lajnah Fatwa bil Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah
al-Azhar menetapkan bahwa Islam tidak mengenal dan sama sekali tidak
menjadi bagian dari Baha-iyah. Syaikh Jad al-Haq Ali Jad al-Haq –Syaikh
al-Azhar- menyatakan bahwa Bahaiyah adalah pemikiran non-Islam, tidak
boleh seorang muslim meyakini, dan berafiliasi pada gerakan ini.
Alasannya adalah karena Baha-iyah menyerukan bersatunya Allah dalam
wujud makhluknya, membuat syariat yang sama sekali tidak berasal dari
tuntuna Alquran dan sunnah, mengklaim kenabian bahkan ketuhanan.
Baha-iyah merupakan pemikiran ekstrim yang menggabungkan keyakinan
beberapa agama, filsafat, dan tidak memiliki cita-cita untuk perbaikan
umat Islam.
Sumber;http://kisahmuslim.com
Kamis, 09 April 2015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar