Selasa, 17 Maret 2015

hidayah

Hidayah itu adalah hak prerogatif Allah. Adapun dakwah yang kita lakukan, adalah jalan.. yang orang lain dapat pilih, atau abaikan. Hidayah itu mutlak hanya Allah yang dapat memberi, ia datang tak terduga-duga. Menyinari hati yang membeku, hingga hati itu meleleh. Membuka hati yang tertutup, hingga kebenaran bisa masuk dan tertanam di sana.
Jalan hadirnya hidayah seringkali merupakan jalan yang tidak kita duga, seperti kisah masuk islamnya Hamzah.
***
Di tengah suhu yang diliputi awan kezhaliman dan penindasan, tiba-tiba muncul seberkas cahaya yang menyinari jalan, yaitu masuk islamnya Hamzah bin Abdul Muththalib radhiallaahu ‘anhu . Dia masuk Islam pada penghujung tahun ke-6 dari kenabian, lebih tepatnya pada bulan Dzulhijjah.
Mengenai sebab keislamannya adalah bahwa suatu hari, Abu Jahal melewati Rasulullah di bukit Shafa, lalu dia menyakiti dan menganiaya beliau. Rasulullah diam saja, tidak berbicara sedikitpun kepadanya. Kemudian dia memukuli tubuh beliau dengan batu dibagian kepala sehingga memar dan darah mengalir. Selepas itu, dia pulang menuju tempat pertemuan kaum Quraisy di sisi Ka’bah dan berbincang dengan mereka. Kala itu, budak wanita Abdullah bin Jud’an berada di kediamannya diatas bukit Shafa dan menyaksikan pemandangan yang belum lama terjadi. Kebetulan, Hamzah datang dari berburu dengan menenteng busur panah. Maka serta merta dia memberitahukan kepadanya perihal perlakuan Abu Jahal tersebut.
Menyikapi hal itu, sebagai seorang pemuda yang gagah lagi punya harga diri yang tinggi di kalangan suku Quraisy, Hamzah marah berat dan langsung bergegas pergi dan tidak peduli dengan orang yang menegurnya. Dia berkonsentrasi mempersiapkan segalanya bila berjumpa dengan Abu Jahal dan akan memberikan pelajaran yang paling pahit kepadanya. Maka, manakala dia masuk Masjid (al-Haram-red), dia langsung tegak persis di arah kepala Abu Jahal sembari berkata: “hai si hina dina! Engkau berani mencaci maki keponakanku padahal aku sudah memeluk agamanya?”.
Kemudian dia memukulinya dengan gagang busur panah dan membuatnya terluka dan babak belur. Melihat hal itu, sebagian orang-orang dari Bani Makhzum –yakni, dari suku Abu Jahal- terpancing emosinya, demikian pula dengan orang-orang dari Bani Hasyim –dari suku Hamzah-. Abu Jahal melerai dan berkata: “Biarkan Abu ‘Imarah (kun-yah/julukan Hamzah-red)!
Sebab aku memang telah mencaci maki keponakannya dengan cacian yang amat jelek”. Keislaman Hamzah pada mulanya adalah sebagai pelampiasan rasa percaya diri seseorang yang tidak sudi dihina oleh tuannya, namun kemudian Allah melapangkan dadanya. Dia kemudian menjadi orang yang berpegang teguh dengan al-’Urwatul Wutsqa dan menjadi kebanggaan kaum muslimin.
***
Sungguh indah rencana Allah. Awalnya mungkin, Hamzah masuk islam karena tidak dapat menerima penghinaan Abu Jahal kepada keponakannya. Namun kemudian Allah melapangkan dadanya. Kemudian dia, menjadi orang yang berpegang teguh dengan al-’Urwatul Wutsqa dan menjadi kebanggaan kaum muslimin.
Allah melapangkan dadanya, hingga hidayah tersebut menyusup dan menerangi jiwanya. Dan masuklah ia menuju agama Islam. Bagaimana dengan paman Rasululullah yang lain? Yang senantiasa melindungi rasulullah dalam berdakwah, Abu Thalib? Simak cuplikan kisah menjelang wafatnya.
“Wahai paman, ucapkanlah la ilaha illallah, satu kalimat yang dapat engkau jadikan hujjah di sisi Allah,” Sabda beliau. Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayyah menyela, “Wahai Abu Thalib, apakah engkau tidak menyukai agama Abdul Muththalib ?” Keduanya tak pernah berhenti mengucapkan kata-kata ini, hingga pernyataan terakhir yang diucapkan Abu Thalib adalah, “Tetap berada pada agama Abdul Muththalib.”
***
Wallahua’lam. Kita tidak pernah tahu, hati siapa yang akan dilapangkan, hati siapa yang akan disempitkan terhadap hidayah. Kita tidak pernah tahu. Karena hidayah memang hak mutlak Allah, ia datang saat Allah memberikannya, ia hadir saat Allah mengirimkannya.
Ya, hidayah memang bukan wilayah kekuasaan kita. Tapi bukan berarti kita lantas berlepas diri dari setiap orang. Kita tetap memiliki kewajiban untuk menyampaikan kebenaran, dengan cara yang baik tentunya. Tugas kita adalah menyampaikan, tanpa banyak berpikir apakah yang kita sampaikan akan mengubah seseorang atau tidak. Tugas kita adalah menyampaikan kebenaran, mensyiarkan agama Allah. Kemudian bertawakkal, berdoa semoga ada banyak hati yang dilapangkan untuk menerima hidayahNya.

*sumber : Sirah Nabawiyah-Syaikh Shafiyyurahman Al-Mubarakfuri
-matasalman.com

0 komentar:

Posting Komentar